SEBUAH KISAH
Menurutku aku tidak cantik padahal pemikiran seperti itu adalah salah
karena Allah sudah menciptakan manusia dengan wujud terbaiknya. Rupa kita
seperti apa, itulah yang terbaik menurutNya karena wajah cantikpun bila tidak
disyukuri dan tidak disertai akhlak mulia apalah jadinya. Menurutku kedua
adikku sangat cantik, usia mereka tidak terpaut jauh, aku Reyna kelahiran 1974
Dyana kelahiran 1976 Elina kelahiran 1981. Aku sendiri tidak mengerti mengapa
wajah kami agak berbeda tapi ya sudahlah memang seperti itu kenyataannya lagi
pula tidak mungkin aku operasi plastik kami dari keluarga sederhana yang hidup apa adanya ga
neko-neko dan dalam bimbingan orang tua yang agamis operasi plastik itu apa
orang tuaku bahkan tak akan pernah tahu dan aku kira akupun tidak pernah
tertarik untuk melakukan itu.
Menginjak remaja, rasa percaya diriku sangat rendah, aku tidak pernah
pacaran karena merasa yakin tidak akan ada laki-laki yang mau sama aku, lagipula
Allah melarang pacaran kan? pacaran itu sesuatu yang mendekati jinah. Masa SMA
aku lalui tanpa ada romantika cinta dimana biasanya remaja berkisah tentang
cinta dengan indahnya. Sebenarnya ada sih cowok yang nitipin salam lewat
temennya dan aku kira aku juga suka sama dia, tapi karena apa yang aku yakini
maka tidak pernah terjadi kisah cinta antara kami. Kelihatannya itu
mengecewakan dia dan akupun sebenarnya sakit ketika dia akhirnya dengan sengaja
berduaan dengan temen sekelasku tapi ya mau gimana lagi itulah kenyataan yang
harus aku terima. Dan aku malah sibuk dengan seabrek buku, masalah akademik dan
seterusnya, walaupun nilaiku bukan terbaik tapi aku harus bisa memiliki ijazah
SMA.
Ketidakpercayaan diriku lebih rendah lagi karena faktor ekonomi,
teman-teman yang lain penampilannya wah dan serba mahal, sementara aku apa
adanya dan standard ekonomi rakyat, semua yang aku pakai bukanlah barang bermerk
tapi barang-barang yang dibeli di pasar rakyat. Bersyukur itulah yang aku
lakukan, karena masih bisa sekolah sampai SMA dimana kebanyakan teman-temanku
yang lain memilih bekerja di pabrik atau menikah. Di SMA tempat aku sekolah
dari sekian ratus teman SMP hanya 6 orang yang sekolah di situ, yang lainnya
entah kemana lost contact.
Masa SMA merupakan perjuangan berat bagiku, aku harus menekan rasa malu
dan ketidakpercayaan diriku, hemat dan belajar. Hari demi hari kulalui, aku
tidak boleh mengeluh, masih ada sahabat yang mau peduli sama aku, bahkan ada
seorang teman yang sering aku pinjam uangnya untuk bayaran SPP karena orang
tuaku belum punya uang dan TU sekolah sudah menagih, akhirnya aku pinjam dulu
begitu punya uang baru aku bayar. Semoga kebaikan temanku Devi mendapat pahala
dan dibalas beribu kebaikan dari Allah karena hanya itu yang bisa ku do’a kan.
Aku kelas 3 SMA adikku Dyana masuk SMA kelas 1. Karena bentrok dengan
biaya aku maka adikku yang satu itu tinggal di rumah Pak De dan Bu De agar
lebih dekat ke sekolah dan lebih hemat ongkos. Begitu aku lulus SMA, dia
kembali kerumah dan sekolah seperti biasanya. Aku mulai kerja di pabrik dan
sedikit sedikit membantu membiayai kebutuhan keluarga. Karena setiap kali
gajian aku selalu langsung memberikannya pada ibu, tiap hari aku hanya minta
untuk transport dan uang makan saja. Hampir 2 tahun lamanya aku berkerja
sebagai karyawan pabrik. Alhamdulillah ekonomi keluarga meningkat. Sampai
akhirnya Dyana juga lulus SMA dan juga mulai bekerja di Pabrik.
1994. Aku mulai bosan jadi karyawan pabrik dan memutuskan untuk keluar,
benar-benar nekat, tidak berpikir jauh darimana dapat uang untuk kehidupan
sehari-hari tapi begitulah, karena masih muda dan pemikirannya kurang dewasa
waktu itu usiaku masih 20 an aku jadi pengangguran dan kegiatanku mulai tak
karuan tanpa arah, aku kenalan sama laki-laki yang cukup dewasa aku
memanggilnya Abang dan aku dengan lugunya mau saja diajak pergi sama dia. Dia minta
antar aku kerumah tantenya, katanya sudah lama dia tidak menjenguk tantenya dia
khawatir tantenya lagi sakit, silaturahmi katanya. Aku dengan polosnya mau
karena ku pikir silaturahmi itu mendapat pahala, aku pamit pada orang tua, dan
entah kenapa aku menangkap sirat kekhawatiran di wajah bapak, aku meyakinkan
bapak, aku bisa jaga diri.
Sepanjang perjalanan dengan kendaraan umum semuanya berjalan biasa saja.
Hanya ngobrol seputar kegiatan Abang, keluarga Abang dan entah segala macam
urusan, satu jam kemudian sampai ditempat tujuan. Sesampainya di rumah itu aku
seperti layaknya tamu biasa tapi lama-lama aku merasa ada yang aneh, obrolan
tantenya Abang dengan aku rasanya basi banget dan aku mulai curiga ada yang
tidak beres. Tantenya kelihatan sehat segar bugar dan tidak terlalu tua, kurang
pantas kalau dibilang tante, tidak ada om, aku mikirnya mungkin om lagi pergi,
aku hanya minum seteguk teh yg tante suguhkan padaku. Abang tak kelihatan,
entah kemana dia, Abang membiarkan aku dan tante ngobrol lama-lama sementara
dia sendiri entah kemana walaupun aku tahu dia masih berada di rumah itu.
Ketika basa basi kutanyakan dimana Abang, tante bilang abang ada di kamar,
kelihatannya abang sakit, mungkin masuk angin. Hmmm aku mulai mengendus sesuatu
yang kurang baik tapi aku masih sopan lah, aku berdiri di pintu kamar dan
memanggil Abang, dia ditempat tidur, dia bilang pusing. Aku mengerutkan kening,
tadi ga kenapa-kenapa sekarang begitu. Tante pamit mau beli sesuatu di warung sayuran
di depan katanya dia mau masak buat kami berdua aku melarangnya karena tak mau
merepotkan tapi tante sudah berlalu. Abang tergolek ditempat tidur, aku
menghampiri dia tanpa ada pikiran jelek, mungkin masuk angin bisa diberi obat
gosok atau kalaw memang semakin parah ya kedokter terdekat saja pikirku. Ketika
aku berdiri disisi tempat tidur perlahan abang bangkit dan duduk dia minta maaf
atas kondisinya, aku sarankan ke dokter dia menolak, dia minta tolong
diambilkan obat gosok diatas meja aku nurut begitu aku menyodorkan obat itu
Abang menggenggam tanganku yang sedang menggenggam obat gosok itu, reflek aku
menarik tanganku tapi tangan abang sangat kuat, dia mulai menarik tubuhku dan
tangannya yang lain menyentuh tubuhku yang sangat aku jaga, aku sadar ada yang
kurang beres maka tidak sia-sia latihan beladiri yang selama ini aku sering
lakukan plak plak bug jleb bruk aku tak tahu persis jurus mana yang aku
keluarkan minimal bibirnya pedih dan pasti ada memarnya. Setelah itu aku
langsung kabur keluar rumah itu. Pulang.
Sesampainya di rumah, aku bersikap biasa saja, makan mandi dan
seterusnya, malam bapak pulang kerumah, aku mendengar bapak menanyakan aku
pulang jam berapa pada ibu, bapak membuka pintu kamarku, aku pura-pura tidur,
aku tahu bapak mengkhawatirkan aku, bapak keluar setelah menutup pintu kamarku
pelan-pelan.
Hari hari selanjutnya adalah hari-hari basi buat aku, kalau aku butuh
sesuatu aku minta uang pada ibu, terasa seperti orang yang tidak berguna. Aku
lebih sering dirumah dikamar melamun dan melakukan hal-hal yang tidak berguna
lainnya. Mungkin itu sebabnya hari itu Sabtu pagi bapak mengajak aku kerumah
nene, bapak bilang nene pengen ketemu udah lama ga jenguk nene, aku dibonceng
bapak.
Dirumah nene aku ktemu kake, nene, sepupu dan tanteku, biasalah ngobrol,
makan, ngerujak dan seterusnya sampai sore, bapak pergi ketempat temannya, sore
baru jemput lagi. Pas bapak jemput aku sudah siap dan kami pulang, dalam
setengah perjalanan BRAKKKKK setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku merasa kepalaku sangat pusing, perban di tangan dan kakiku, seorang
suster sedang mempersiapkan alat-alat dan membersihkan tubuhku. Dengan ramahnya
dia merawat lukaku, mengganti pakaianku dan memeriksa infus dan seterusnya
sesuai tugasnya. Dia bilang sudah 15 hari aku dirawat disini, lima belas hari?
aku baru sadar setelah lima belas hari? Apa yang terjadi? dimana ini? Aku
melihat ibu masuk ruangan, kelihatannya ibu baru dari apotek dan membawa obat
ditangannya, ibu langsung memeluk aku, suster menyiapkan obat yang dibawa ibu
dan meminta aku meminumnya. Aku menelan pil itu, pfff pahit.
Tiga hari kemudian aku dibolehkan pulang kerumah. Dengan catatan harus
berobat jalan. Setiap minggu. Keluarga menyanggupi. Aku pulang dan dirumah aku
dirawat sebagaimana layaknya orang sakit, aku memang sakit, duduk itu pusing
bukan main, aku hanya bisa berbaring tanpa bantal. Katanya waktu kecelakaan itu
terjadi keluar banyak darah dari telingaku. Keluarga yang menyayangiku dengan
ikhlas merawatku dengan baik, mengobatiku, membawa ke dokter dan seterusnya. Bahkan
ketika kekurangan uang sekalipun mereka mencari dengan cara apapun dan berusaha
semaksimal mungkin.
1995. Aku mulai sembuh, makanku sudah normal dan mulai jalan-jalan
kepekarangan rumah. Melihat-melihat bunga yang kutanam bermekaran juga menatap
angkutan umum dan kendaraan roda dua lewat didepan rumah. Saat itulah ada
angkutan umum berhenti seseorang turun, tetanggaku baru pulang rupanya, tapi
ada yang lebih menarik dari itu aku melihat seseorang menetapku dari dalam
angkutan umum itu dia memakai kameja warna biru tua aku mulai merasa tak nyaman,
Abang gumamku, dia hanya menatapku setelah itu angkutan umum itupun berlalu.
Aku kembali ke kamar, kudengar ibu menasehatiku agar jangan terlalu banyak
gerak nanti capek nanti pusing dan seterusnya, ya ibu benar.
Setelah beberapa minggu agak sembuh aku mulai masuk rumah sakit lagi,
kali ini penyakitnya beda, tak ada makanan yang mau masuk ke perutku, mual dan
lemas. Lama-lama Tubuhku sangat kurus seakan hanya tinggal tulang dan kulit
sementara perutku membesar, membesar dan semakin besar sampai seperti hamil
Sembilan bulan, berbulan bulan kondisiku seperti itu, keluarga sudah berusaha
maksimal, sudah membawa aku ke tiga rumah sakit tapi tak ada perubahan, sampai
akhirnya mereka membawa aku pulang, sudah tak sanggup membayar biaya rumah
sakit lagi. Kesedihan tersurat diwajah ibu dan bapak dan sebagai orang sakit
aku sudah tak berdaya dan pasrah dan tawakkal apapun yang akan terjadi. Fisik
aku sakit tubuhku lemas tak berdaya, tapi jiwaku sangatlah kuat, selama sakit
itu aku tak pernah lepas dari dzikir dan doa, sholat kulakukan semampunya.
Sungguh aku merasa damai dan tenteram. Mungkin inilah saatnya, aku sudah
terlalu menyusahkan kedua orang tua, aku harus ikhlas apapun yang terjadi.
Orang orang disekitarkupun sudah menyadari apapun yang nantinya akan menimpaku,
aroma kematian sudah tercium, kekhawatiran dan ketakutan semakin kental, tapi
Tuhan memberikan kekuatan pada jiwaku, kekuatan pada pikiranku dan kekuatan
pada keyakinan hatiku bahwa pertolongan itu akan datang.
1996. Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, entah kenapa seakan ada
yang menggerakan hatiku untuk mampir ke rumah Pak De/Bu de yang pernah merawat
Dyana ketika kelas 1 SMA, mereka sangat sedih melihat kondisiku, aku tidak
turun dari mobil hanya terbaring tapi aku sadar walau fisikku lemah, ketika
mereka menatapku dengan raut wajah sayu tiba tiba seseorang menyapa mereka
menanyakan apa yang terjadi, Pa De dan Bu De secara otomatis menceritakan
kejadian yang menimpaku, ku lihat orang itu menatapku dan termenung beliau
adalah H. Kholik atau Koh Lee seorang keturunan chinese tapi beragama islam dan
sangat taat beribadah, aku hanya tahu tapi tidak mengenalnya dengan baik, beliau
tingal tak jauh dari rumah Bu De, beliau menanyakan usiaku dan terkaget ketika
Bapak bilang 22 tahun, beliau mengira aku sudah tua karena kelihatan seperti
nenek 60 tahunan, beliau membisikan sesuatu pada bapak, bapak terdiam dan tak
lama kemudian mengganggukan kepala dan mengucapkan terima kasih.
Hari-hari selanjutnya bapak sering membawaku ke Cianjur, bukan lagi kerumah sakit tapi ke rumah seorang
kyai yang memang mempunyai keahlian pengobatan alternative, ternyata itulah yang
dianjurkan H.Kholik/ koh Lee . Di Cianjur aku dipertemukan dengan seorang kyai,
waktu pertama kali bertemu beliau bertanya apakah aku pernah jatuh? Entah apa
jawabanku, kupikir itu hanya pertanyaan basa-basi padahal sebenarnya ya, aku
pernah jatuh dari motor ketika pulang dari rumah nene. tekhik pengobatan pa kyai aku diberi minum air
putih dan air rebusan ramuan yang beliau racik sendiri dan tentu saja rasanya
sangat tidak enak, tapi aku meminumnya sambil mencet hidung. Obat itu harus
diminum setiap pagi hari sebelum makan, sebelum minum obat aku harus membaca do’a.
Doa yang harus dibaca pa kyai menuliskannya diselembar kertas, dan beliau
membacakannya untuku beberapa kali, ketika pa kyai menyodorkan kertas yang
beliau tulis itu aku menolaknya, aku bilang aku sudah hafal. pak kyai juga
memberikan resep apa saja bahan obat itu dan bagaimana cara membuatnya, jadi
ketika dirumah Ibu menyiapkan obat itu untukku, pa kyai bilang ga usah setiap
minggu ke Cianjur soalnya repot dan butuh ongkos banyak, awalnya seminggu
sekali lalu dua minggu sekali dan akhirnya sebulan sekali.
Pengobatan selama berbulan-bulan itu membuahkan hasil, sedikit demi
sedikit perutku yang buncit mulai kempis dan mengecil. Hingga akhirnya kembali
keukuran normal. Badanku mulai berisi lagi seiring makanan, vitamin dan obat
herbal yang aku konsumsi. Aku sudah merasa normal. Benar benar normal. Aku tahu
pertolongan Tuhan telah datang, entah apa rencanaNya sehingga aku dan keluarga
diberi cobaan berat yang begitu bertubi-tubi dan panjang waktunya seperti ini.
1997. Aku mulai kerja lagi, kali ini disebuah toko bangunan, mengingat
kondisiku aku tidak bekerja di pabrik yang butuh waktu banyak lembur, kalaw di
toko bangunan kan paling sore jam lima sudah pulang, gajinya cukuplah untuk
memenuhi kebutuhan hidupku. Alhamdulillah. Waktu bekerja disana ada seorang
kurir yang sering datang mengantar surat penting, paket dan kiriman lainnya,
dia cukup keren menurutku, tapi aku cukup sadar dirilah, ga mungkin cowok
sekeren dia naksir aku. Uhuy …lupain aja. Jangan Baper. Waktu kerja aku kerja
tapi waktu luang aku lebih banyak membaca, belajar computer otodidak, aku ga
tahu dan ga pernah ketemu sama mahluk yang namanya computer tapi bukunya ada,
aku mempelajarinya, tapi buku itu menggunakan istilah asing jadi kadang aku
harus buka kamus, ribet. Jadi aku kursus bahasa inggris setelah pulang kerja,
aku bahkan belajar jarak jauh lewat surat dan telephone dengan salah satu
institusi pendidikan di Manchester UK. Dan tentu saja jasa kurir keren itu
selalu ku pakai, mau tak mau aku sering bertemu dengannya baik sengaja atau
tidak, dia yang mengantar suratku dari Manchester ataupun sebaliknya. Hidupku
berjalan benar-benar normal. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah kerja
disebuah pabrik garmen. Alhamdulillah karena laporanku yang kutulis dalam
bahasa inggris, aku menjadi asisten konsultan dari German dan dipercaya bertanggung
jawab pada bagian logistic dan punya computer sendiri. Aku mulai mengalami
perbaikan secara ekonomi dan emosi.
1999. Kembali Tuhan memberikan cobaan padaku. Dyana sudah menemukan
jodohnya, dia dilamar dan aku bukanlah manusia super yang bisa menerima
kenyataan itu, apalagi telingaku yang selalu dikicau suara sumbang tentang
perawan tua dan adik nikah duluan, maklum lah namanya juga dikampung. Tapi
bukan aku namanya bila tak bisa memenej perasaanku, ketika Dyana nikah aku jadi
pager ayu tapi tidak memakai kebaya aku lebih memilih blazer panjang dengan
asesoris cantik sopan, anggun, elegan, keren dan ceria. bahkan kadang aku jadi
tukang photo cadangan, aku hanya ingin memudarkan imej jelek tentang kakak yang
adiknya menikah duluan itu harus murung, mengunci diri dikamar karena malu,
bahkan menangis dan seterusnya, itu tidak berlaku bagiku, itu bukan gayaku.
Aku menjalani hidupku seperti biasanya, kerja, main, belanja, dan yang
paling inti adalah ibadah. Walaupun aku tak memakai hijab aku menjalankan ibadah
sesuai kemampuanku, apalagi pengalaman sakitku itu…beuh kalau diingatkan hanya
membuat aku mengingat kematian….dan kukira memang kualitas ibadahku semakin
baik setelah itu. Tapi sebagai manusia tentu saja aku berharap hidupku semakin
normal dengan datangnya pendamping hidupku, tapi apalah dayaku, aku bahkan tak
pernah tahu dimana dia berada dan harus kemana mencarinya. Banyak yang bilang
aku kena guna-guna sehingga sulit dapat jodoh, ditambah dengan pernah sakit
seperti itu, ah apapun itu tak membuat aku takut, aku percaya pada Tuhan, Tuhan
yang akan membimbing aku, apapun yang terjadi padaku adalah sepengetahuanNya
dan atas ijinNya. Tapi iya juga ya? Kenapa jodohku susah amat ya?
2001. Kenyataan sehari-hari dan omongan negative orang lama-lama mempengaruhi
hidupku, aku jadi ga betah dirumah, akhirnya aku memutuskan bekerja jauh dari
rumah, aku mengembara ke Surabaya. Disana aku bekerja dengan orang-orang yang
sangat baik, kebutuhanku tercukupi, aku bahkan sempat berlibur ke Madura selain
ketempat rekreasi seputar Jawa Timur. Komunikasi dengan keluarga…tentu saja aku
masih mengandalkan jasa kurir keren itu, aku mengirim khabar, mengirim paket
atau apapun pasti minta tolong dia. Cuma….ya itu tadi namanya ga pernah jauh
dari ibu dan mungkin ibu juga merasa khawatir anaknya jauh ya akhirnya setiap
bulan habis gajian aku pulang. Mau naik bis. Kereta atau pesawat yang penting
pulang. Aku tak pernah merasa takut dalam sendirian diperjalanan, karena aku
yakin Tuhan selalu bersamaku. Uangku tak pernah terkumpul dan aku tak punya
rekening tabungan.
2002. Aku pulang kampung dan dan tak pernah kembali ke Surabaya setelah
13 bulan bekerja disana, setelah ibu memintaku pulang dan beliau menjamin akan
kehidupanku di kampung. Ibu masih sanggup memberiku makan dan pakaian dan
mencukupi kebutuhan lainnya, percuma kerja jauh tapi tak ada sisa. Aku tak
berani membantah, aku anak yang baik dan penurut, aku percaya titah ibu adalah
ridho Tuhan. Tuhan pasti menjamin kehidupanku.
Benar saja di akhir tahun itu pula aku mendapatkan berkah bekerja
disebuah instansi publik. Itu merupakan sebuah kehormatan bagi keluargaku, aku
berhasil diterima kerja disitu tanpa biaya banyak, hanya transport dan photo
copy, itupun uangnya uang tabungan ibu di majlis tempatnya mengaji. Khabar
santernya sih kalaw mau bekerja di situ harus punya uang puluhan juta tapi
kembali aku mematahkan pemikiran itu. Aku adalah orang yang masuk ke instansi
itu dengan hasil jerih payah dan kemampuan akademisku, dan tentu saja doa ibu
dan kehendak Tuhan. Dan aku sangat mensyukuri nikmat itu.
2003. Tapi lagi lagi Tuhan menguji kekuatan jiwaku. Elina juga menemukan
jodohnya. Mereka menikah, dan lagi-lagi aku tak mampu melarang adikku yang lain
menikah, bahkan ketika ada perdebatan keluarga tentang waktu pernikahan mereka,
keluarga calon suami Elina tahu aku belum menikah jadi mereka mengulur waktu
agar aku menikah lebih dulu baru mereka menentukan hari pernikahan Elina. Hmmmm
aku bahkan tak melihat bayangan jodohku ada dimana. Maka aku mendatangi rumah
Om nya calon suami Elina, karena waktu lamaran aku memang tidak dirumah karena
aku tinggal dirumah kost agar lebih dekat dengan kantor tempatku bekerja. Aku
meyakinkan om calon suami Elina agar segera mengatur tanggal pernikahan karena
kalau aku duluan itu ga mungkin, aku bilang pacarku sedang kuliah S2, ga akan
mungkin menikah dalam waktu dekat, dan aku dalam kondisi benar benar ikhlas
walau bohong dikit. Dosa? Entahlah aku tak memikirkan dosa saat itu, daripada
nanti adikku yang bergelimang dosa ya kan? Akhirnya diplomasiku berhasil. Elina
menikah. Sayangnya ketika hari H nya aku sedang ada tugas, aku usahakan tetap
datang walau sudah sore, masih banyak tamu dan aku masih sempat menyalami
mereka, tapi bagi yang datang pagi dan siang….tentu saja aku jadi buah bibir.
Kakaknya Elina tak ada di hari pernikahan itu, dia terluka, dia malu, dia sakit
dan seterusnya…aku hanya senyum saja mendengar itu. Ya iyalah masa aku samperin
orang orang itu dan keluarin jurus bak bik bek dan gubrakkkkkkk ga ah, itu
sudah masa lalu, senyum itu menurutku jawaban yang baik.
Aku sakit. Aku sedih. Aku marah. Aku kecewa. Itu mungkin ada benarnya,
tapi kembali aku pada keyakinanku, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar
batas kemampuan seorang hambaNya. Dan aku yakin cobaan ini memang untuku, pantas
bagiku dan pasti akan mendapat ijazah bila aku lulus dalam ujianNya dan aku
akan naik kelas.
Di tempat kost, aku hanya makan seadanya, pulang kerja masuk kamar,
mandi, istirahat, tidur, besoknya masuk kerja lagi dan berulang ulang setiap
hari, tapi sabtu minggu libur jadi jum’at sore aku bisa pulang. Dan ibu, ibu
adalah sosok yang menjadi penjagaku, ibu membangkitkan semangatku, ibu
menumbuhkan rasa percaya diriku, ibu yang mengingatkan aku tentang ujian dan
cobaan Tuhan yang sudah berhasil kulalui dan lihat apa balasanNya, ibu selalu
memberiku petuah petunjuk nasehat yang benar-benar menentramkan hati. Saat itu
aku siap-siap pulang ke rumah, aku sangat merindukan ibu ketika ibu kost bilang
tadi ada yang datang dan menungguku di warung, karena ibu kost memang punya
warung kopi di depan rumahnya, ibu kost bilang kasian dia menunggu berjam-jam
tapi aku tak datang-datang ibu kost bilang kemungkinan aku langsung pulang ke
rumah karena sudah jadwalnya tanpa pulang ke kost dulu, baru tamu itu pamit
pulang. Aku bingung tamu siapa? Ga mungkinlah tamu dari kantor ku, kan seharian
tadi aku di kantor. Waktu aku tanyakan siapa tamu itu ibu kost juga bingung dia
tak sempat menanyakan identitas tamu itu Cuma yang dia ingat tamu itu membawa
motor khusus dengan perlengkapan untuk jasa mengantarkan surat atau paket
seperti itu..A AW…kurir keren itu, sudah lama aku tidak mendengar khabar apapun
dari dia, tahu darimana dia aku sudah pulang dari Surabaya? Dan tahu darimana
dia aku kost disini? Aku ingat-ingat
rasanya aku masih punya no telephone nya ketika aku masih membutuhkan jasanya
mengantar surat dan paketku ketika aku masih disurabaya. No HP nya tidak aktif.
Hm mungkin saja sudah ganti nomer dan aku tidak tahu, tapi ketika aku
menghubungi nomer rumahnya masih bisa dan …Alhamdulillah silaturahmi tersambung
kembali.
Sejak itu, kurir keren itu selalu mengantarku kemana-mana. Karena
ternyata rumahnya ga jauh dari kantor aku dan kebetulan wilayah kerja dia
sekitar rumah ibu Aku sih ya basi aja,
paling minta anter makan, minta pulang bareng, biasa ajalah karena memang aku
merasa dia itu temen yang biasa nolongin aku sahabat yang bisa kuhubungi ketika
aku butuh dan aku kenal dia sudah sejak kerja di pabrik bangunan, ya begitu deh
ga ada harapan khusus sama dia. Tapi lama-lama risih juga ya, kemana-mana
berdua, dekat tapi tanpa hal yang pasti mau dibawa kemana hubungan ini
sementara usiaku sudah begitu matang. Jauh menatap dan mendalami lubuk hatiku,
aku sebenarnya sangat mengagumi kurir keren itu sejak pertama kali bertemu,
tapi aku selalu mengabaikan perasaan itu, dan setelah sekian lama perasaan itu
mulai mengganggu lagi tapi tanpa kepastian. Sebagai orang timur adalah tabu
bila perempuan ‘Nanya’ duluan tapi aku? Aku memang orang timur tapi aku sudah
termakan pengalaman yang sangat ‘mengajari’ ku arti hidup, dunia ga akan
berhenti berputar kalau aku melakukan itu. Awalnya aku pancing dia dengan
menanyakan pacarnya, dia bilang sudah putus dan perempuan itu sudah menikah
dengan cowok yang lebih kaya bahkan sekarang sudah hamil. Ya sudah aku tembak
aja dia, kerongkonganku turun naik dan jantungku bereaksi tidak seperti
biasanya, dengan terbata-bata tapi jelas aku bilang sama dia usiaku hampir 30
aku menanti jodohku, bila kamu memang bermaksud menjadi jodohku aku akan
menantimu di rumah ibu, tapi bila tidak ada maksud sama sekali dan hubungan
antara aku dan kamu hanya teman dan bisnis, sebaiknya kita tidak usah bertemu
lagi karena itu akan membuat jodohku pergi karena dia pikir kamu menghalangi
jalannya. Lalu aku pulang dengan hati sangat pedih, aku tahu resiko
terburuknya. sepanjang jalan aku menangis, hijabku basah.
Beberapa bulan aku tak mendengar
khabar apapun dari kurir keren itu, ya sudahlah ini mungkin nasibku, dia
bukanlah jodohku. Lagian gila juga berani nembak kaya gitu, emang ada laki-laki
yang tanpa pacaran mau menikahinya? Emang dia suka sama aku? Salaman sama aku
aja dia hanya menempelkan sepuluh jari didadanya dan menganggukan kepala. Aku
yang Ge-Er, Pe De, Nekat atau geblek? Entahlah. Satu hal yang kuyakini Tuhan
akan menunjukan kuasaNya. Bila Dia menginginkannya maka jadilah. Jadi? Ya
gimana ya? Lihat ajalah, kalau memang bukan dia bukan jodohku pasti Tuhan
sedang mempersiapkan orang yang lebih baik lagi.
2004. HP ku berbunyi dari nomer tak dikenal. Aku angkat dengan sapaan
standard karena memang sebagai pegawai pemerintah aku harus bisa melayani publik
dengan baik, dan jantungku berdegup sangat kencang tak beraturan ketika aku
tahu siapa yang bicara di ujung sana. Dia bilang dia dan orang tuanya akan
kerumah melamarku. Bener-bener kacau perasaanku, kenapa dia selama ini hanya diam
seakan tak menjawab hatiku padahal dia ternyata mempersiapkan semuanya aku
ingin ngomel sebenarnya tapi ya ga jadilah, mungkin memang harus seperti ini.
30 Juni 2004 aku ulang tahun yang ke 30. Seminggu kemudian 8 Juli 2004 aku
menikah. 15 Juni 2005 lahirlah putera pertama kami yang sangat mirip Abi,
kelahirannya sunguh membawa kebahagiaan dan berkah, aku melanjutkan kuliah
dengan ridho Abi, Juli 2007 kami pindah kerumah sendiri. Juni 2010 tasyakuran
khitanan putra kami. 10 Maret 2011 lahir adik kecil putera ke dua kami. Fa biayyi
ala irobbikuma tukajjiban?
“Umiiiiiiiiii!”, teriakan Achmad kecilku
menyadarkan aku dari pikiranku yang tadi menerawang jauh, dia membawa iqronya
dan menyodorkannya padaku, “kata bu ustadjah adik harus ulangi baca iqro di
rumah halaman 16 sudah 2 hari dan belum boleh pindah halaman, iqro 3 susah,
adik malu” aku memeluk adik, menenangkannya dan mulai membimbingnya belajar
membaca iqro, kakak sedang membaca yasin dengan suara perlahan sementara Abi
belum pulang dari masjid.
“Assalamualaikum” ada yang datang, “waalaikumussalam” kami menjawab, kakak
langsung membukakan pintu dan kulihat kakak mencium tangan Abi. Adik dan aku
juga. Abi menyodorkan sesuatu, sebuah surat. “Tadi di masjid ketemu anaknya
Dokter Devi, dia mau kesini mau nganter surat ini, ya ngapain juga begitu
mendingan Abi yang bawa pulang.” Kata Abi, Dokter Devi adalah orang yang sering
meminjamkan aku uang SPP waktu SMA. Aku mengerutkan kening. Abi angkat bahu.
Kubaca surat itu, Kepada Yth. Ibu Reyna Aulia Zahra
S.Sos, S.A.P, M.Pd, M.M bla bla bla rupanya Dokter Devi Butuh bantuanku dalam
proses pengembangan Sekolah dan Rumah Sakit yang dibangunnya. Baiklah. Semoga
ilmuku bermanfaat. Semoga cerita ini menjadi hikmah. Aamin YRA. *Bogor.
7/2/16.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar