Senin, 11 April 2016

SEBUAH KISAH


SEBUAH KISAH


Menurutku aku tidak cantik padahal pemikiran seperti itu adalah salah karena Allah sudah menciptakan manusia dengan wujud terbaiknya. Rupa kita seperti apa, itulah yang terbaik menurutNya karena wajah cantikpun bila tidak disyukuri dan tidak disertai akhlak mulia apalah jadinya. Menurutku kedua adikku sangat cantik, usia mereka tidak terpaut jauh, aku Reyna kelahiran 1974 Dyana kelahiran 1976 Elina kelahiran 1981. Aku sendiri tidak mengerti mengapa wajah kami agak berbeda tapi ya sudahlah memang seperti itu kenyataannya lagi pula tidak mungkin aku operasi plastik kami dari  keluarga sederhana yang hidup apa adanya ga neko-neko dan dalam bimbingan orang tua yang agamis operasi plastik itu apa orang tuaku bahkan tak akan pernah tahu dan aku kira akupun tidak pernah tertarik untuk melakukan itu.
Menginjak remaja, rasa percaya diriku sangat rendah, aku tidak pernah pacaran karena merasa yakin tidak akan ada laki-laki yang mau sama aku, lagipula Allah melarang pacaran kan? pacaran itu sesuatu yang mendekati jinah. Masa SMA aku lalui tanpa ada romantika cinta dimana biasanya remaja berkisah tentang cinta dengan indahnya. Sebenarnya ada sih cowok yang nitipin salam lewat temennya dan aku kira aku juga suka sama dia, tapi karena apa yang aku yakini maka tidak pernah terjadi kisah cinta antara kami. Kelihatannya itu mengecewakan dia dan akupun sebenarnya sakit ketika dia akhirnya dengan sengaja berduaan dengan temen sekelasku tapi ya mau gimana lagi itulah kenyataan yang harus aku terima. Dan aku malah sibuk dengan seabrek buku, masalah akademik dan seterusnya, walaupun nilaiku bukan terbaik tapi aku harus bisa memiliki ijazah SMA.
Ketidakpercayaan diriku lebih rendah lagi karena faktor ekonomi, teman-teman yang lain penampilannya wah dan serba mahal, sementara aku apa adanya dan standard ekonomi rakyat, semua yang aku pakai bukanlah barang bermerk tapi barang-barang yang dibeli di pasar rakyat. Bersyukur itulah yang aku lakukan, karena masih bisa sekolah sampai SMA dimana kebanyakan teman-temanku yang lain memilih bekerja di pabrik atau menikah. Di SMA tempat aku sekolah dari sekian ratus teman SMP hanya 6 orang yang sekolah di situ, yang lainnya entah kemana lost contact.
Masa SMA merupakan perjuangan berat bagiku, aku harus menekan rasa malu dan ketidakpercayaan diriku, hemat dan belajar. Hari demi hari kulalui, aku tidak boleh mengeluh, masih ada sahabat yang mau peduli sama aku, bahkan ada seorang teman yang sering aku pinjam uangnya untuk bayaran SPP karena orang tuaku belum punya uang dan TU sekolah sudah menagih, akhirnya aku pinjam dulu begitu punya uang baru aku bayar. Semoga kebaikan temanku Devi mendapat pahala dan dibalas beribu kebaikan dari Allah karena hanya itu yang bisa ku do’a kan.
Aku kelas 3 SMA adikku Dyana masuk SMA kelas 1. Karena bentrok dengan biaya aku maka adikku yang satu itu tinggal di rumah Pak De dan Bu De agar lebih dekat ke sekolah dan lebih hemat ongkos. Begitu aku lulus SMA, dia kembali kerumah dan sekolah seperti biasanya. Aku mulai kerja di pabrik dan sedikit sedikit membantu membiayai kebutuhan keluarga. Karena setiap kali gajian aku selalu langsung memberikannya pada ibu, tiap hari aku hanya minta untuk transport dan uang makan saja. Hampir 2 tahun lamanya aku berkerja sebagai karyawan pabrik. Alhamdulillah ekonomi keluarga meningkat. Sampai akhirnya Dyana juga lulus SMA dan juga mulai bekerja di Pabrik.
1994. Aku mulai bosan jadi karyawan pabrik dan memutuskan untuk keluar, benar-benar nekat, tidak berpikir jauh darimana dapat uang untuk kehidupan sehari-hari tapi begitulah, karena masih muda dan pemikirannya kurang dewasa waktu itu usiaku masih 20 an aku jadi pengangguran dan kegiatanku mulai tak karuan tanpa arah, aku kenalan sama laki-laki yang cukup dewasa aku memanggilnya Abang dan aku dengan lugunya mau saja diajak pergi sama dia. Dia minta antar aku kerumah tantenya, katanya sudah lama dia tidak menjenguk tantenya dia khawatir tantenya lagi sakit, silaturahmi katanya. Aku dengan polosnya mau karena ku pikir silaturahmi itu mendapat pahala, aku pamit pada orang tua, dan entah kenapa aku menangkap sirat kekhawatiran di wajah bapak, aku meyakinkan bapak, aku bisa jaga diri.
Sepanjang perjalanan dengan kendaraan umum semuanya berjalan biasa saja. Hanya ngobrol seputar kegiatan Abang, keluarga Abang dan entah segala macam urusan, satu jam kemudian sampai ditempat tujuan. Sesampainya di rumah itu aku seperti layaknya tamu biasa tapi lama-lama aku merasa ada yang aneh, obrolan tantenya Abang dengan aku rasanya basi banget dan aku mulai curiga ada yang tidak beres. Tantenya kelihatan sehat segar bugar dan tidak terlalu tua, kurang pantas kalau dibilang tante, tidak ada om, aku mikirnya mungkin om lagi pergi, aku hanya minum seteguk teh yg tante suguhkan padaku. Abang tak kelihatan, entah kemana dia, Abang membiarkan aku dan tante ngobrol lama-lama sementara dia sendiri entah kemana walaupun aku tahu dia masih berada di rumah itu. Ketika basa basi kutanyakan dimana Abang, tante bilang abang ada di kamar, kelihatannya abang sakit, mungkin masuk angin. Hmmm aku mulai mengendus sesuatu yang kurang baik tapi aku masih sopan lah, aku berdiri di pintu kamar dan memanggil Abang, dia ditempat tidur, dia bilang pusing. Aku mengerutkan kening, tadi ga kenapa-kenapa sekarang begitu. Tante pamit mau beli sesuatu di warung sayuran di depan katanya dia mau masak buat kami berdua aku melarangnya karena tak mau merepotkan tapi tante sudah berlalu. Abang tergolek ditempat tidur, aku menghampiri dia tanpa ada pikiran jelek, mungkin masuk angin bisa diberi obat gosok atau kalaw memang semakin parah ya kedokter terdekat saja pikirku. Ketika aku berdiri disisi tempat tidur perlahan abang bangkit dan duduk dia minta maaf atas kondisinya, aku sarankan ke dokter dia menolak, dia minta tolong diambilkan obat gosok diatas meja aku nurut begitu aku menyodorkan obat itu Abang menggenggam tanganku yang sedang menggenggam obat gosok itu, reflek aku menarik tanganku tapi tangan abang sangat kuat, dia mulai menarik tubuhku dan tangannya yang lain menyentuh tubuhku yang sangat aku jaga, aku sadar ada yang kurang beres maka tidak sia-sia latihan beladiri yang selama ini aku sering lakukan plak plak bug jleb bruk aku tak tahu persis jurus mana yang aku keluarkan minimal bibirnya pedih dan pasti ada memarnya. Setelah itu aku langsung kabur keluar rumah itu. Pulang.
Sesampainya di rumah, aku bersikap biasa saja, makan mandi dan seterusnya, malam bapak pulang kerumah, aku mendengar bapak menanyakan aku pulang jam berapa pada ibu, bapak membuka pintu kamarku, aku pura-pura tidur, aku tahu bapak mengkhawatirkan aku, bapak keluar setelah menutup pintu kamarku pelan-pelan.
Hari hari selanjutnya adalah hari-hari basi buat aku, kalau aku butuh sesuatu aku minta uang pada ibu, terasa seperti orang yang tidak berguna. Aku lebih sering dirumah dikamar melamun dan melakukan hal-hal yang tidak berguna lainnya. Mungkin itu sebabnya hari itu Sabtu pagi bapak mengajak aku kerumah nene, bapak bilang nene pengen ketemu udah lama ga jenguk nene, aku dibonceng bapak.
Dirumah nene aku ktemu kake, nene, sepupu dan tanteku, biasalah ngobrol, makan, ngerujak dan seterusnya sampai sore, bapak pergi ketempat temannya, sore baru jemput lagi. Pas bapak jemput aku sudah siap dan kami pulang, dalam setengah perjalanan BRAKKKKK setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku merasa kepalaku sangat pusing, perban di tangan dan kakiku, seorang suster sedang mempersiapkan alat-alat dan membersihkan tubuhku. Dengan ramahnya dia merawat lukaku, mengganti pakaianku dan memeriksa infus dan seterusnya sesuai tugasnya. Dia bilang sudah 15 hari aku dirawat disini, lima belas hari? aku baru sadar setelah lima belas hari? Apa yang terjadi? dimana ini? Aku melihat ibu masuk ruangan, kelihatannya ibu baru dari apotek dan membawa obat ditangannya, ibu langsung memeluk aku, suster menyiapkan obat yang dibawa ibu dan meminta aku meminumnya. Aku menelan pil itu, pfff pahit.
Tiga hari kemudian aku dibolehkan pulang kerumah. Dengan catatan harus berobat jalan. Setiap minggu. Keluarga menyanggupi. Aku pulang dan dirumah aku dirawat sebagaimana layaknya orang sakit, aku memang sakit, duduk itu pusing bukan main, aku hanya bisa berbaring tanpa bantal. Katanya waktu kecelakaan itu terjadi keluar banyak darah dari telingaku. Keluarga yang menyayangiku dengan ikhlas merawatku dengan baik, mengobatiku, membawa ke dokter dan seterusnya. Bahkan ketika kekurangan uang sekalipun mereka mencari dengan cara apapun dan berusaha semaksimal mungkin.
1995. Aku mulai sembuh, makanku sudah normal dan mulai jalan-jalan kepekarangan rumah. Melihat-melihat bunga yang kutanam bermekaran juga menatap angkutan umum dan kendaraan roda dua lewat didepan rumah. Saat itulah ada angkutan umum berhenti seseorang turun, tetanggaku baru pulang rupanya, tapi ada yang lebih menarik dari itu aku melihat seseorang menetapku dari dalam angkutan umum itu dia memakai kameja warna biru tua aku mulai merasa tak nyaman, Abang gumamku, dia hanya menatapku setelah itu angkutan umum itupun berlalu. Aku kembali ke kamar, kudengar ibu menasehatiku agar jangan terlalu banyak gerak nanti capek nanti pusing dan seterusnya, ya ibu benar.
Setelah beberapa minggu agak sembuh aku mulai masuk rumah sakit lagi, kali ini penyakitnya beda, tak ada makanan yang mau masuk ke perutku, mual dan lemas. Lama-lama Tubuhku sangat kurus seakan hanya tinggal tulang dan kulit sementara perutku membesar, membesar dan semakin besar sampai seperti hamil Sembilan bulan, berbulan bulan kondisiku seperti itu, keluarga sudah berusaha maksimal, sudah membawa aku ke tiga rumah sakit tapi tak ada perubahan, sampai akhirnya mereka membawa aku pulang, sudah tak sanggup membayar biaya rumah sakit lagi. Kesedihan tersurat diwajah ibu dan bapak dan sebagai orang sakit aku sudah tak berdaya dan pasrah dan tawakkal apapun yang akan terjadi. Fisik aku sakit tubuhku lemas tak berdaya, tapi jiwaku sangatlah kuat, selama sakit itu aku tak pernah lepas dari dzikir dan doa, sholat kulakukan semampunya. Sungguh aku merasa damai dan tenteram. Mungkin inilah saatnya, aku sudah terlalu menyusahkan kedua orang tua, aku harus ikhlas apapun yang terjadi. Orang orang disekitarkupun sudah menyadari apapun yang nantinya akan menimpaku, aroma kematian sudah tercium, kekhawatiran dan ketakutan semakin kental, tapi Tuhan memberikan kekuatan pada jiwaku, kekuatan pada pikiranku dan kekuatan pada keyakinan hatiku bahwa pertolongan itu akan datang.
1996. Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, entah kenapa seakan ada yang menggerakan hatiku untuk mampir ke rumah Pak De/Bu de yang pernah merawat Dyana ketika kelas 1 SMA, mereka sangat sedih melihat kondisiku, aku tidak turun dari mobil hanya terbaring tapi aku sadar walau fisikku lemah, ketika mereka menatapku dengan raut wajah sayu tiba tiba seseorang menyapa mereka menanyakan apa yang terjadi, Pa De dan Bu De secara otomatis menceritakan kejadian yang menimpaku, ku lihat orang itu menatapku dan termenung beliau adalah H. Kholik atau Koh Lee seorang keturunan chinese tapi beragama islam dan sangat taat beribadah, aku hanya tahu tapi tidak mengenalnya dengan baik, beliau tingal tak jauh dari rumah Bu De, beliau menanyakan usiaku dan terkaget ketika Bapak bilang 22 tahun, beliau mengira aku sudah tua karena kelihatan seperti nenek 60 tahunan, beliau membisikan sesuatu pada bapak, bapak terdiam dan tak lama kemudian mengganggukan kepala dan mengucapkan terima kasih.
Hari-hari selanjutnya bapak sering membawaku ke Cianjur,  bukan lagi kerumah sakit tapi ke rumah seorang kyai yang memang mempunyai keahlian pengobatan alternative, ternyata itulah yang dianjurkan H.Kholik/ koh Lee . Di Cianjur aku dipertemukan dengan seorang kyai, waktu pertama kali bertemu beliau bertanya apakah aku pernah jatuh? Entah apa jawabanku, kupikir itu hanya pertanyaan basa-basi padahal sebenarnya ya, aku pernah jatuh dari motor ketika pulang dari rumah nene.  tekhik pengobatan pa kyai aku diberi minum air putih dan air rebusan ramuan yang beliau racik sendiri dan tentu saja rasanya sangat tidak enak, tapi aku meminumnya sambil mencet hidung. Obat itu harus diminum setiap pagi hari sebelum makan, sebelum minum obat aku harus membaca do’a. Doa yang harus dibaca pa kyai menuliskannya diselembar kertas, dan beliau membacakannya untuku beberapa kali, ketika pa kyai menyodorkan kertas yang beliau tulis itu aku menolaknya, aku bilang aku sudah hafal. pak kyai juga memberikan resep apa saja bahan obat itu dan bagaimana cara membuatnya, jadi ketika dirumah Ibu menyiapkan obat itu untukku, pa kyai bilang ga usah setiap minggu ke Cianjur soalnya repot dan butuh ongkos banyak, awalnya seminggu sekali lalu dua minggu sekali dan akhirnya sebulan sekali.
Pengobatan selama berbulan-bulan itu membuahkan hasil, sedikit demi sedikit perutku yang buncit mulai kempis dan mengecil. Hingga akhirnya kembali keukuran normal. Badanku mulai berisi lagi seiring makanan, vitamin dan obat herbal yang aku konsumsi. Aku sudah merasa normal. Benar benar normal. Aku tahu pertolongan Tuhan telah datang, entah apa rencanaNya sehingga aku dan keluarga diberi cobaan berat yang begitu bertubi-tubi dan panjang waktunya seperti ini.
1997. Aku mulai kerja lagi, kali ini disebuah toko bangunan, mengingat kondisiku aku tidak bekerja di pabrik yang butuh waktu banyak lembur, kalaw di toko bangunan kan paling sore jam lima sudah pulang, gajinya cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Alhamdulillah. Waktu bekerja disana ada seorang kurir yang sering datang mengantar surat penting, paket dan kiriman lainnya, dia cukup keren menurutku, tapi aku cukup sadar dirilah, ga mungkin cowok sekeren dia naksir aku. Uhuy …lupain aja. Jangan Baper. Waktu kerja aku kerja tapi waktu luang aku lebih banyak membaca, belajar computer otodidak, aku ga tahu dan ga pernah ketemu sama mahluk yang namanya computer tapi bukunya ada, aku mempelajarinya, tapi buku itu menggunakan istilah asing jadi kadang aku harus buka kamus, ribet. Jadi aku kursus bahasa inggris setelah pulang kerja, aku bahkan belajar jarak jauh lewat surat dan telephone dengan salah satu institusi pendidikan di Manchester UK. Dan tentu saja jasa kurir keren itu selalu ku pakai, mau tak mau aku sering bertemu dengannya baik sengaja atau tidak, dia yang mengantar suratku dari Manchester ataupun sebaliknya. Hidupku berjalan benar-benar normal. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah kerja disebuah pabrik garmen. Alhamdulillah karena laporanku yang kutulis dalam bahasa inggris, aku menjadi asisten konsultan dari German dan dipercaya bertanggung jawab pada bagian logistic dan punya computer sendiri. Aku mulai mengalami perbaikan secara ekonomi dan emosi.
1999. Kembali Tuhan memberikan cobaan padaku. Dyana sudah menemukan jodohnya, dia dilamar dan aku bukanlah manusia super yang bisa menerima kenyataan itu, apalagi telingaku yang selalu dikicau suara sumbang tentang perawan tua dan adik nikah duluan, maklum lah namanya juga dikampung. Tapi bukan aku namanya bila tak bisa memenej perasaanku, ketika Dyana nikah aku jadi pager ayu tapi tidak memakai kebaya aku lebih memilih blazer panjang dengan asesoris cantik sopan, anggun, elegan, keren dan ceria. bahkan kadang aku jadi tukang photo cadangan, aku hanya ingin memudarkan imej jelek tentang kakak yang adiknya menikah duluan itu harus murung, mengunci diri dikamar karena malu, bahkan menangis dan seterusnya, itu tidak berlaku bagiku, itu bukan gayaku.
Aku menjalani hidupku seperti biasanya, kerja, main, belanja, dan yang paling inti adalah ibadah. Walaupun aku tak memakai hijab aku menjalankan ibadah sesuai kemampuanku, apalagi pengalaman sakitku itu…beuh kalau diingatkan hanya membuat aku mengingat kematian….dan kukira memang kualitas ibadahku semakin baik setelah itu. Tapi sebagai manusia tentu saja aku berharap hidupku semakin normal dengan datangnya pendamping hidupku, tapi apalah dayaku, aku bahkan tak pernah tahu dimana dia berada dan harus kemana mencarinya. Banyak yang bilang aku kena guna-guna sehingga sulit dapat jodoh, ditambah dengan pernah sakit seperti itu, ah apapun itu tak membuat aku takut, aku percaya pada Tuhan, Tuhan yang akan membimbing aku, apapun yang terjadi padaku adalah sepengetahuanNya dan atas ijinNya. Tapi iya juga ya? Kenapa jodohku susah amat ya?
2001. Kenyataan sehari-hari dan omongan negative orang lama-lama mempengaruhi hidupku, aku jadi ga betah dirumah, akhirnya aku memutuskan bekerja jauh dari rumah, aku mengembara ke Surabaya. Disana aku bekerja dengan orang-orang yang sangat baik, kebutuhanku tercukupi, aku bahkan sempat berlibur ke Madura selain ketempat rekreasi seputar Jawa Timur. Komunikasi dengan keluarga…tentu saja aku masih mengandalkan jasa kurir keren itu, aku mengirim khabar, mengirim paket atau apapun pasti minta tolong dia. Cuma….ya itu tadi namanya ga pernah jauh dari ibu dan mungkin ibu juga merasa khawatir anaknya jauh ya akhirnya setiap bulan habis gajian aku pulang. Mau naik bis. Kereta atau pesawat yang penting pulang. Aku tak pernah merasa takut dalam sendirian diperjalanan, karena aku yakin Tuhan selalu bersamaku. Uangku tak pernah terkumpul dan aku tak punya rekening tabungan.
2002. Aku pulang kampung dan dan tak pernah kembali ke Surabaya setelah 13 bulan bekerja disana, setelah ibu memintaku pulang dan beliau menjamin akan kehidupanku di kampung. Ibu masih sanggup memberiku makan dan pakaian dan mencukupi kebutuhan lainnya, percuma kerja jauh tapi tak ada sisa. Aku tak berani membantah, aku anak yang baik dan penurut, aku percaya titah ibu adalah ridho Tuhan. Tuhan pasti menjamin kehidupanku. 
Benar saja di akhir tahun itu pula aku mendapatkan berkah bekerja disebuah instansi publik. Itu merupakan sebuah kehormatan bagi keluargaku, aku berhasil diterima kerja disitu tanpa biaya banyak, hanya transport dan photo copy, itupun uangnya uang tabungan ibu di majlis tempatnya mengaji. Khabar santernya sih kalaw mau bekerja di situ harus punya uang puluhan juta tapi kembali aku mematahkan pemikiran itu. Aku adalah orang yang masuk ke instansi itu dengan hasil jerih payah dan kemampuan akademisku, dan tentu saja doa ibu dan kehendak Tuhan. Dan aku sangat mensyukuri nikmat itu.
2003. Tapi lagi lagi Tuhan menguji kekuatan jiwaku. Elina juga menemukan jodohnya. Mereka menikah, dan lagi-lagi aku tak mampu melarang adikku yang lain menikah, bahkan ketika ada perdebatan keluarga tentang waktu pernikahan mereka, keluarga calon suami Elina tahu aku belum menikah jadi mereka mengulur waktu agar aku menikah lebih dulu baru mereka menentukan hari pernikahan Elina. Hmmmm aku bahkan tak melihat bayangan jodohku ada dimana. Maka aku mendatangi rumah Om nya calon suami Elina, karena waktu lamaran aku memang tidak dirumah karena aku tinggal dirumah kost agar lebih dekat dengan kantor tempatku bekerja. Aku meyakinkan om calon suami Elina agar segera mengatur tanggal pernikahan karena kalau aku duluan itu ga mungkin, aku bilang pacarku sedang kuliah S2, ga akan mungkin menikah dalam waktu dekat, dan aku dalam kondisi benar benar ikhlas walau bohong dikit. Dosa? Entahlah aku tak memikirkan dosa saat itu, daripada nanti adikku yang bergelimang dosa ya kan? Akhirnya diplomasiku berhasil. Elina menikah. Sayangnya ketika hari H nya aku sedang ada tugas, aku usahakan tetap datang walau sudah sore, masih banyak tamu dan aku masih sempat menyalami mereka, tapi bagi yang datang pagi dan siang….tentu saja aku jadi buah bibir. Kakaknya Elina tak ada di hari pernikahan itu, dia terluka, dia malu, dia sakit dan seterusnya…aku hanya senyum saja mendengar itu. Ya iyalah masa aku samperin orang orang itu dan keluarin jurus bak bik bek dan gubrakkkkkkk ga ah, itu sudah masa lalu, senyum itu menurutku jawaban yang baik.
Aku sakit. Aku sedih. Aku marah. Aku kecewa. Itu mungkin ada benarnya, tapi kembali aku pada keyakinanku, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan seorang hambaNya. Dan aku yakin cobaan ini memang untuku, pantas bagiku dan pasti akan mendapat ijazah bila aku lulus dalam ujianNya dan aku akan naik kelas.
Di tempat kost, aku hanya makan seadanya, pulang kerja masuk kamar, mandi, istirahat, tidur, besoknya masuk kerja lagi dan berulang ulang setiap hari, tapi sabtu minggu libur jadi jum’at sore aku bisa pulang. Dan ibu, ibu adalah sosok yang menjadi penjagaku, ibu membangkitkan semangatku, ibu menumbuhkan rasa percaya diriku, ibu yang mengingatkan aku tentang ujian dan cobaan Tuhan yang sudah berhasil kulalui dan lihat apa balasanNya, ibu selalu memberiku petuah petunjuk nasehat yang benar-benar menentramkan hati. Saat itu aku siap-siap pulang ke rumah, aku sangat merindukan ibu ketika ibu kost bilang tadi ada yang datang dan menungguku di warung, karena ibu kost memang punya warung kopi di depan rumahnya, ibu kost bilang kasian dia menunggu berjam-jam tapi aku tak datang-datang ibu kost bilang kemungkinan aku langsung pulang ke rumah karena sudah jadwalnya tanpa pulang ke kost dulu, baru tamu itu pamit pulang. Aku bingung tamu siapa? Ga mungkinlah tamu dari kantor ku, kan seharian tadi aku di kantor. Waktu aku tanyakan siapa tamu itu ibu kost juga bingung dia tak sempat menanyakan identitas tamu itu Cuma yang dia ingat tamu itu membawa motor khusus dengan perlengkapan untuk jasa mengantarkan surat atau paket seperti itu..A AW…kurir keren itu, sudah lama aku tidak mendengar khabar apapun dari dia, tahu darimana dia aku sudah pulang dari Surabaya? Dan tahu darimana dia aku kost disini?  Aku ingat-ingat rasanya aku masih punya no telephone nya ketika aku masih membutuhkan jasanya mengantar surat dan paketku ketika aku masih disurabaya. No HP nya tidak aktif. Hm mungkin saja sudah ganti nomer dan aku tidak tahu, tapi ketika aku menghubungi nomer rumahnya masih bisa dan …Alhamdulillah silaturahmi tersambung kembali.
Sejak itu, kurir keren itu selalu mengantarku kemana-mana. Karena ternyata rumahnya ga jauh dari kantor aku dan kebetulan wilayah kerja dia sekitar rumah ibu  Aku sih ya basi aja, paling minta anter makan, minta pulang bareng, biasa ajalah karena memang aku merasa dia itu temen yang biasa nolongin aku sahabat yang bisa kuhubungi ketika aku butuh dan aku kenal dia sudah sejak kerja di pabrik bangunan, ya begitu deh ga ada harapan khusus sama dia. Tapi lama-lama risih juga ya, kemana-mana berdua, dekat tapi tanpa hal yang pasti mau dibawa kemana hubungan ini sementara usiaku sudah begitu matang. Jauh menatap dan mendalami lubuk hatiku, aku sebenarnya sangat mengagumi kurir keren itu sejak pertama kali bertemu, tapi aku selalu mengabaikan perasaan itu, dan setelah sekian lama perasaan itu mulai mengganggu lagi tapi tanpa kepastian. Sebagai orang timur adalah tabu bila perempuan ‘Nanya’ duluan tapi aku? Aku memang orang timur tapi aku sudah termakan pengalaman yang sangat ‘mengajari’ ku arti hidup, dunia ga akan berhenti berputar kalau aku melakukan itu. Awalnya aku pancing dia dengan menanyakan pacarnya, dia bilang sudah putus dan perempuan itu sudah menikah dengan cowok yang lebih kaya bahkan sekarang sudah hamil. Ya sudah aku tembak aja dia, kerongkonganku turun naik dan jantungku bereaksi tidak seperti biasanya, dengan terbata-bata tapi jelas aku bilang sama dia usiaku hampir 30 aku menanti jodohku, bila kamu memang bermaksud menjadi jodohku aku akan menantimu di rumah ibu, tapi bila tidak ada maksud sama sekali dan hubungan antara aku dan kamu hanya teman dan bisnis, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi karena itu akan membuat jodohku pergi karena dia pikir kamu menghalangi jalannya. Lalu aku pulang dengan hati sangat pedih, aku tahu resiko terburuknya. sepanjang jalan aku menangis, hijabku basah.
 Beberapa bulan aku tak mendengar khabar apapun dari kurir keren itu, ya sudahlah ini mungkin nasibku, dia bukanlah jodohku. Lagian gila juga berani nembak kaya gitu, emang ada laki-laki yang tanpa pacaran mau menikahinya? Emang dia suka sama aku? Salaman sama aku aja dia hanya menempelkan sepuluh jari didadanya dan menganggukan kepala. Aku yang Ge-Er, Pe De, Nekat atau geblek? Entahlah. Satu hal yang kuyakini Tuhan akan menunjukan kuasaNya. Bila Dia menginginkannya maka jadilah. Jadi? Ya gimana ya? Lihat ajalah, kalau memang bukan dia bukan jodohku pasti Tuhan sedang mempersiapkan orang yang lebih baik lagi.    
2004. HP ku berbunyi dari nomer tak dikenal. Aku angkat dengan sapaan standard karena memang sebagai pegawai pemerintah aku harus bisa melayani publik dengan baik, dan jantungku berdegup sangat kencang tak beraturan ketika aku tahu siapa yang bicara di ujung sana. Dia bilang dia dan orang tuanya akan kerumah melamarku. Bener-bener kacau perasaanku, kenapa dia selama ini hanya diam seakan tak menjawab hatiku padahal dia ternyata mempersiapkan semuanya aku ingin ngomel sebenarnya tapi ya ga jadilah, mungkin memang harus seperti ini. 30 Juni 2004 aku ulang tahun yang ke 30. Seminggu kemudian 8 Juli 2004 aku menikah. 15 Juni 2005 lahirlah putera pertama kami yang sangat mirip Abi, kelahirannya sunguh membawa kebahagiaan dan berkah, aku melanjutkan kuliah dengan ridho Abi, Juli 2007 kami pindah kerumah sendiri. Juni 2010 tasyakuran khitanan putra kami. 10 Maret 2011 lahir adik kecil putera ke dua kami. Fa biayyi ala irobbikuma tukajjiban?
 “Umiiiiiiiiii!”, teriakan Achmad kecilku menyadarkan aku dari pikiranku yang tadi menerawang jauh, dia membawa iqronya dan menyodorkannya padaku, “kata bu ustadjah adik harus ulangi baca iqro di rumah halaman 16 sudah 2 hari dan belum boleh pindah halaman, iqro 3 susah, adik malu” aku memeluk adik, menenangkannya dan mulai membimbingnya belajar membaca iqro, kakak sedang membaca yasin dengan suara perlahan sementara Abi belum pulang dari masjid.
“Assalamualaikum” ada yang datang, “waalaikumussalam” kami menjawab, kakak langsung membukakan pintu dan kulihat kakak mencium tangan Abi. Adik dan aku juga. Abi menyodorkan sesuatu, sebuah surat. “Tadi di masjid ketemu anaknya Dokter Devi, dia mau kesini mau nganter surat ini, ya ngapain juga begitu mendingan Abi yang bawa pulang.” Kata Abi, Dokter Devi adalah orang yang sering meminjamkan aku uang SPP waktu SMA. Aku mengerutkan kening. Abi angkat bahu.
Kubaca surat itu, Kepada Yth. Ibu Reyna Aulia Zahra S.Sos, S.A.P, M.Pd, M.M bla bla bla rupanya Dokter Devi Butuh bantuanku dalam proses pengembangan Sekolah dan Rumah Sakit yang dibangunnya. Baiklah. Semoga ilmuku bermanfaat. Semoga cerita ini menjadi hikmah. Aamin YRA. *Bogor. 7/2/16.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar